0

Ahli Hukum Tata Negara: Usia Capres-Cawapres Bukan Isu Konstitusional

RajaBackLink.com
ahli-hukum-tata-negara:-usia-capres-cawapres-bukan-isu-konstitusional

Jakarta, CNN Indonesia

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pembatasan usia sebagai syarat pencalonan capres dan cawapres bukan merupakan isu konstitusional.

Bivitri dihadirkan sebagai ahli dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan tiga perkara terkait syarat minimal usia capres-cawapres, yakni perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

“Batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah isu konstitusional, sehingga mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan keputusan-keputusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy,” ujar Bivitri dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/8).

Bivitri menyebut setidaknya tujuh putusan MK yang menggambarkan konsistensi pandangan mahkamah bertalian dengan batas usia untuk jabatan tertentu dalam konteks open legal policy.

Bivitri mencatat terdapat pelbagai pengecualian, yakni tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable; menimbulkan problematika kelembagaan; apabila secara implisit norma tersebut menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif bila dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif.

Menurut Bivitri, permohonan ini tidak memenuhi sejumlah pengecualian tersebut.

Bivitri menjelaskan pembatasan usia minimum dan maksimum bukan isu yang lazim diatur ketat. Sebab, kapasitas politikus diukur dari rekam jejak. Karenanya, berbagai negara menerapkan beragam batas umur lantaran kapasitas politik dan kemampuan berpikir tidak bisa disamakan dengan kebugaran.

Oleh karena itu, kata Bivitri, perdebatan mengenai batas usia minimum untuk dipilih mesti dibiarkan berada dalam wilayah kebijakan, bukan dipindah ke wilayah konstitusional. Harapannya, hal itu dapat diatur berkembang lagi secara kontekstual di kemudian hari.

“Sedangkan jika mahkamah yang mengaturnya, dalam arti memberikan putusan, fleksibilitas yang mengikuti kontekstualitas ini akan hilang. Karena nanti batas usia akan selalu menjadi isi konstitusional yang kembali harus diperiksa mahkamah dengan logika yang sangat mungkin akan inkonsisten,” ujarnya.

“Jika proposisi utamanya adalah pembatasan umur menimbulkan diskriminasi bagi sebagian warga negara Indonesia yang berusia di bawah 40 tahun, maka seharusnya dalam silogisme kesimpulannya adalah menghilangkan sama sekali batasan umur, bukan menurunkannya,” katanya menambahkan.

Lebih lanjut, Bivitri menyebut pembatasan hal-hal tertentu sejatinya dibolehkan secara teologis. Hal itu telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Menurutnya, United Nations Human Rights Office juga menyampaikan pendapat senada mengenai adanya pembatasan usia tersebut, yakni pemberian batasan usia dimungkinkan bila ada penalaran yang dapat diterima.

Di akhir pemaparan, Bivitri menyinggung perihal momentum pengujian materiil yang dekat dengan pelaksanaan kontestasi Pemilu 2024 mendatang.

“Wajar saja bila ada dugaan sebagian pihak kepada pemohon mengenai kepentingan politik dalam proses penentuan calon pasangan kandidat presiden dan wakil presiden. Dalam kaitannya dengan dugaan ini, tak pelak mahkamah juga banyak diduga, diterka, dan dianalisis dalam kaitannya dengan posisi politik mahkamah,” jelas Bivitri.

Menurut Bivitri, peran mahkamah untuk tetap menjadi the guardian of constitution atau pengawal konstitusi yang dapat dipercaya sangat penting bagi bangunan negara hukum Indonesia yang kini tengah menghadapi banyak masalah.

Apabila ada hal yang ingin diubah, Bivitri mendorong perubahan dilakukan setelah Pemilu 2024 oleh lembaga pembentuk Undang-undang.

“Untuk itu Mahkamah semestinya memberikan putusan yang konsisten dengan putusan-putusan mahkamah sebelumnya. Bila memang ada perubahan yang dianggap penting oleh mahkamah, maka perubahan itu harus dilakukan setelah Pemilu 2024 dan oleh pembentuk undang-undang,” imbuh dia.

(pop/fra)

Yuk, daftarkan email jika ingin menerima Newsletter kami setiap awal pekan.

Dengan berlangganan, Anda menyepakatikebijakan privasi kami.

Hukum
RajaBackLink.com
RajaBackLink.com

More Similar Posts

RajaBackLink.com
RajaBackLink.com
Postingan Lainnya
RajaBackLink.com