0

Dugaan Korupsi Basarnas, Momentum Revisi UU Peradilan Militer

RajaBackLink.com
dugaan-korupsi-basarnas,-momentum-revisi-uu-peradilan-militer

Kasus dugaan korupsi yang menjerat dua anggota TNI aktif di Basarnas dinilai jadi momentum untuk merevisi UU Peradilan Militer. Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan alat-alat di Basarnas. (Foto: Tangkapan layar youtube BASARNAS OFFICIAL)

Jakarta, CNN Indonesia

Penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi bakal diusut melalui mekanisme TNI. Kasus ini dinilai jadi momentum untuk merevisi UU Peradilan Militer.

Pusat Polisi Militer TNI menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan alat-alat di Basarnas.

Perkara ini terbongkar lewat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa pekan lalu di Cilangkap dan Bekasi. TNI kemudian mengambil alih kasus ini dari KPK.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai penanganan melalui peradilan militer sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Dia merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

“Tindak pidana yang dilakukan anggota TNI itu memang dilakukan oleh Peradilan Militer dalam seluruh jenis tindak pidana,” kata Mahfud dalam keterangan video di akun Instagram, Selasa (1/8).

Meski demikian dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mengatur Peradilan Umum bagi prajurit yang melanggar hukum pidana umum.

“Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang,” demikian bunyi pasal tersebut.

Namun, kata Mahfud, sebelum ada Undang-undang Peradilan Militer yang baru, yang menggantikan UU Nomor 31 Tahun 1997, maka penanganannya tunduk pada Peradilan Militer.

Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, S.E., M.M. bersama Ketua MPR RI, DPR RI, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud, MD., dan para Kepala Staf Angkatan di atas Kapal KRI Dr. dr. Radjiman Wedyodiningrat-992 menyaksikan uji coba penembakan beberapa senjata strategis TNI saat melakukan manuver lapangan (Manlap) Latihan Gabungan TNI Tahun 2023 di Selat Bali. Senin (31/7/2023).Panglima TNI Laksamana Yudo Margono bersama Menko Polhkam Mahfud, MD menyaksikan uji coba penembakan beberapa senjata strategis TNI saat melakukan manuver lapangan (Manlap) Latihan Gabungan TNI 2023 di Selat Bali, Senin (31/7/2023). (Foto: Arsip Puspen TNI)

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan pihaknya sejalan dengan Menko Polhukam bahwa TNI tunduk pada Peradilan Militer sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997. Meskipun dalam UU TNI diatur peradilan umum bagi prajurit.

“TNI tetap tunduk pada hukum dan saya tidak akan melindungi,” ujarnya.

Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda mengkritik pernyataan Mahfud yang hanya merujuk satu undang-undang dalam kasus ini. Menurutnya, pernyataan Mahfud boleh jadi benar secara politik, tapi tidak tepat secara hukum.

Selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, ada undang-undang lain yang harus dijadikan rujukan. Di antaranya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi.

UU TNI merevisi hakikat UU Peradilan Militer

Dalam sejarahnya, Undang-Undang Peradilan Militer dibuat di masa Orde Baru saat TNI (dahulu ABRI) menjadi kekuatan politik dominan. Sehingga tidak mengherankan jika personel TNI tunduk sepenuhnya kepada kompetensi absolut peradilan militer.

Namun kini, ‘hakikat’ UU Peradilan Militer telah direvisi oleh orde reformasi melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Di sana diatur apabila anggota TNI melanggar kepentingan umum maka tunduk kepada peradilan umum.

Korupsi merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi, sosial dan ekonomi masyarakat. Karenanya, korban sejati dari tindak pidana ini adalah masyarakat pada umumnya, bukan militer.

Terlebih lagi, Basarnas yang dikukuhkan dengan UU No. 29 Tahun 2014 adalah lembaga pemerintahan sipil yang berkoordinasi langsung di bawah Presiden.

Kasus korupsi di Basarnas dinilai sebagai pelanggaran atas kepentingan umum. Karena itu, walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh anggota TNI aktif, hal itu menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Selain itu, UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tipikor menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan inilah yang dinilai lebih tepat mengadili kabasarnas yang juga merupakan anggota militer, atas dugaan kasus korupsi.

“Jika Mahfud hanya menyandarkan pada satu UU saja (UU No. 31/1997) menunjukkan ‘keberpihakan’ yang bersangkutan atas sikap keras kepala TNI yang ‘ngotot’ sebagai yang berwenang menangani perkara korupsi Kabasarnas,” kata Chairul yang juga penasihat ahli Kapolri bidang hukum.

Berlanjut ke halaman berikutnya…

‘Game of the Rule’ Orde Baru

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN :
Dugaan
RajaBackLink.com
RajaBackLink.com

More Similar Posts

RajaBackLink.com
RajaBackLink.com
Postingan Lainnya
RajaBackLink.com